Rabu, 28 September 2011

MANUSIA SEBAGAI MIKROKOSMOS (PANDANGAN IBN ‘ARABI)



A. PENDAHULUAN
Salah satu pendekatan yang mungkin bisa dilalui dalam memahami manusia selain yang sudah dicoba diungkap filsafat dan ilmu-ilmu modern, seperti biologi, sosiologi, psikologi, antropologi dan sebagainya, adalah pendekatan sufistik yang menggunakan meode kashf, yang secara epistemology berbeda dengan berbagai pendekatan yang lain. Salah satu sufi besar yang memberikan perhatian yang besar dalam karya-karyanya terhadap manusia adalah al-Syeikh al-Akbar Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Arabi. Perhatiannya dalam mengungkap hekekta manusia ini mislanya terlihat deri pernyataannya hal terpenting yang harus diketahui manusia adalah mengetahui dirinya dan celakalah orang yang tidak mau merenungkan wuju>d-nya dan kebutuhannya akan Tuhan dan tidak mengetahui apa yang disediakan Allah padanya dari kelembutan kebijaksanaann-Nya.
Karena itu makalah ini mencoba untuk mengkaji pemikiran Ibn ‘Arabi mengenai manusia yang disebutnya sebagai al-‘a>lam al-as}ghar, atauh al-mukhtas}ar al-shari>f, al-kaun al-ja>mi’. Namun karena pemikiran Ibn ‘Arabi tidak dapat dilepaskan dari system pemikiran ontologisnya mengenai hubungan Tuhan, alam dan manusia yang dikenal dengan wah}dah al-wuju>d. maka pembahasan pada makalah ini tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai induk pemikirannya ini.


B. PEMBAHASAN

1. Hakekat Wujud Dalam Pandangan Ibn ‘Arabi
Pemikiran Ibn ‘Arabi jika disederhanakan dapat dikembalikan pada dua tema sentral yaitu mengenai hakekat wuju>d yang dikenal dengan wah}dah al-wuju>d dan mengenai hakekat manusia yang terumuskan dalam konsep insa>n ka>mil. Yang pertama merupakan premis utama (al-qad}iyyah al-kubra>) bagi yang kedua. Karena itu untuk memahami pemikiran Ibn ‘Arabi mengenai manusia, maka harus dipahami terlebih dahulu filsafat-sufistiknya mengenai wuju>d.
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi hekekat wuju>d (Al-h}aqi>qah al-wuju>diyah) adalah satu pada tingkat jauhar (substansi) dan dha>t (subtansinya). Ia tampak banyak melalui sifat-sifat dan asma>’ (nama-nama)-Nya. Tidak ada keberbilangan (ta’addudiyah) pada-Nya kecuali ditinjau dari segi nisab (relasi) dan id}a>fah (penyandaran). Dalam pandangan Ibn ‘Arabi al-h}aqi>qah al-wuju>diyah itu adalah al-H{aqq (Tuhan sebenarnya, sebelum munculnya relasi apapun) sekaligus al-khalq (makhluk yang tercipta melalui-Nya), satu dan sekaligus banyak, qadi>m (ada tanpa permulaan) dan h}a>di>th (ada setelah sebelumnya tidaka ada), yang al-awwal (yang pertama) dan al-ahir (yang tampak) dan al-ba>t}in (yang tak tampak) dan seterusnya dari sifat-sifat kontradiktif yang lain. Al-H{aqq mempunyai wuju>d hakiki dan wuju>d hakiki ini adalah pada Dha>t-Nya dan mempunyai wuju>d id}a>fy yaitu wuju>d-Nya dalam substansi segala wuju>d yang mungkin (al-a’ya>n al-mumkina>t, substansi yang ada dan tidaknya bergantung pada yang lain). Al-H{aqq (Tuhan) merupakan Hakekat azali dan Wuju>d Mutlak yang tidak bisa tidak ada (al-wuju>d al-mutlaq al-wa>jib) yang mana merupakan asal segala yang ada, dulu, sekarang dan yang akan datang. Sifat al-H{aqq yang hanya dimilikinya (yang membedaakn dari selain-Nya) adalah sifat al-wuju>b al-dha>ty yang tidak dapat dimiliki oleh makhluk.
Dia adalah yang menghimpun (al-ja>mi’) segala sesuatu dalam Diri-Nya, yang mengumpulkan segala yang ada. Dia yang tersembunyi menampakkan diri-Nya melalui s}u>rah (bentuk) segala yang ada (alam). Dilihat dari dha>t-nya, kakekat wuju>d yang tampak tersebut dapat disebut sebagai Al-H}aq dan jika dilihat dari sifat-sifat dan asma>’-nya yakni dari segi penampakannya dalam realitas (a’ya>n), hal-hal yang mungkin (al-mumkina>t), maka ia disebut ciptaan (al-khalq) atau alam dari segi bahwa al-Khalq tidak mempunyai hakekat wuju>d karena wuju>dnya hanyalah manifesasi dari al-H{aqq. Kareannya tidak ada yang disifati dengan wuju>d kecuali Allah.
Degan demikian penciptan dalam pandangan Ibn ‘Arabi tidak lain hanyalah al-tajally al-ila>hy (manifestasi Tuhan) yang langeng dan tanpa putus dan manifestasi al-H{aqq (z}uhu>r al-H{aqq) pada setiap saat, pada apa saja dari bentuk-bentuk (al-s}uwar) yang takterhitung jumlahnya dan manifestasi ini betapapun banyak dan langgengnya tidak berulang selamanya. Seluruh yang ada (al-mauju>da>t) adalah sifat-sifat bagi al-H{aqq. Ia mengatakan“subh}a>na man az}hara al-ashya>’ wa hua ‘ainuha>” (Maha Suci Dha>t yang menampakkan segala sesuatu sedang Dia adalah esensi segala sesuatu itu), dimana segala sesuatu itu merupakan manifestasi dari asma> dan sifa>t-Nya.
Ia adalah al-Dha>hir dan al-Ba>t}in, Dialah yang tampak bagi diri-Nya dan yang tak tampak dari diri-Nya dan Dia yang dinamai dengan nama-nama seluruh yang baru (al-musamma> bi jami>’ al-muhdatha>t). Ibn ‘arabi mengatakan “fama> was}afna>hu bi wasfin illa> nah}nu ay al-muh}datha>t z}a>lik al-was}f illa> al-wuju>b al-kha>s} al-dha>ty“ (tidaklah kita mensifati-Nya dengan suatu sifat kecuali kita, makhluk yang baru, merupakan sifat itu kecuali sifat wa>jib ada yang khusus bagi dhat tuhan) karena sifat-sifat tersebut merupakan esensi dha>t itu sendiri (‘ain al-dha>t). Keberadaan-Nya jika dinisbatkan kepada alam maka hubungan itu bagaikan hubungan antara sosok dan bayang-bayangnya dan obyek yang terlihat dangan dengan gambarnya pada cermin. Ia bagaikan bilangan satu dalam melahirkan angka-angka lain.
Al-H{aqq yang tersucikan adalah al-Khalq yang diserupakan (al-mushabbah) dan pembedaan antara keduanya (al-H{aqq dan al-Khalq) tidak lain hanya pada tingkat pengandaian (al-i’tibaliq dan al-Kha>liq adalah al-Khalq karena esensinya (‘ain) satu. Di sisi yang lain al-Khalq bukanlah al-H{aqq dan al-H{aqq bukanlah khalq jika kita melihat pada bentuk al-khalq tanpa melihat esensi (‘ain) dan substansi (jauhar)-nya. Dengan demikian kamu adalah Dia dan sekaligus bukan Dia (anta hua la> hua) dan Dia adalah kamu dan sekaligus bukan kamu (hua anta la> anta), Artinya kamu adalah Dia pada tingkat hakekat dan esensi dan bukan Dia dari sisi bentuk (s}u>rah) mu dan penampakanmu. Al-H{aqq dalam pandangan Ibn ‘Arabi adalah ru>h} al-wuju>d dan wuju>d itu adalah s}u>rah-nya yang tampak.

2. Hakekat Alam (Makrokosmos)

Proses terjadinya alam berawal dari kehendak Dha>t ketuhanan untuk melihat diri-Nya dalam bentuk selain Dha>t-Nya atau dengan kata lain Dha>t ila>hiyyah menghendaki untuk dikenal di luar batas ke-Dha>t-an-Nya. Dia yang Esa cinta (rindu) untuk melihat diri-Nya dalam bentuk lain, yang padanya Ia menampakkan diri dan melihat diri-Nya dari sela-salanya. Jadi alam lahir dari kehendak al-H{aqq agar dapat melihat diri-Nya dan memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin Tuhan. Tuhan dari sisi Dha>t-Nya adalah harta tersimpan, tersembunyi yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Alam tercipta berkat kehendak Al-H}aq, dari sisi asma>’-Nya yang tak terhitung jumlahnya, untuk melihat substansi diri-Nya dalam jagad (kaun) yang menghimpun segalanya karena Ia bersifat ada, dan dengannya Dia menampakkan rahasia-Nya ke padanya.
Manakala ilmu-Nya mengenai alam tiada lain adalah ilmu-Nya mengenai Diri-Nya sendiri karena tidak ada yang wuju>d kecuali Dia, maka tidak ada yang tampak di dalam alam jagad (kaun) kecuali apa yang ada pada Diri-Nya, maka tidak bisa tidak alam menurut citra-Nya dan citra alam menurut kadar Asma>’ Tuhan yang tidak hitung jumlahnya dan tidak ada dalam Tuhan kecuali Nama Tuhan (ism ila>hy) kecuali menurut kadar pengaruhnya pada kemunculan alam tanpa bertambah dan berkurang. Maka Dia menciptakan alam secara sempurna (fi gha>yah al-ih}ka>m wa al-itqa>n), sehingga alam bersesuaian dengan asma>’ Tuhan dan seakan Tuhan yang asalnya tersembunyi (b>at}in) dengan adanya alam menjadi tampak, sehingga Dia menyaksikan Diri-Nya dengan yang tampak itu. Mana kala Dia menampakkan alam dalam substansi-Nya maka ia menjadi tempat penampakan-Nya (majla>hu), sehingga Dia tidak melihat padanya kecuali keindahan-Nya.

3. Manusia Sebagai Mikrokosmos
Ibn ‘Arabi dalam Fus}us} al-H{ikam mengatakan:
“Sesungguhnya Allah ta’a>la dari segi Asma>’-Nya yang tidak terhitung jumlahnya, untuk melihat sumbstansi-sumtansi asma>’ tersebut atau melihat subtansi-Nya dalam jagad yang menghimpun dan mengumpulkan segala hal seluruhnya karena ia berrsifat ada (wuju>d), dan menampakkan rahasia-Nya melalui jagad itu kepadanya, karena penglihatan sesuatu terhadap diri melalui dirinya sendiri tidaklah seperti penglihatannya terhadap dirinya pada sesuatu yang lain yang berfungsi sebagai cermin, sehingga ia tampaklah baginya dirinya dalam suatu bentuk yang ia berikan kepada tempat penglihatan itu, dimana hal itu tidak tampak baginya tanpa adanya tempat ini, dan tampa penampakannya (tally) pada tempat itu. Manakala al-H{aqq telah mengadakan alam seluruhnya dalam sosok penampakan (shabh}) tanpa ruh sehingga ia bagaikan cermin yang tidak mengkilap (ghair majluw), sedangkan hukum ilahi mempunyai sifat bahwa tidaklah ia mengadakan (sawwa>) suatu tempat (mahal) kecuali ia menerima ruh ila>hi. Yang diungkapkan dengan nafakha fi>hi (tiupan padanya)….. Oleh karenanya menuntut pengkilapan cermin alam tersebut, maka Adam merupakan subtansi kilapnya cermin tersebut dan menjadi ruhnya s}u>rah tersebut (alam), dan malaikat termasuk bagian dari potensi (quwa>) s>rah tersebut yang mana adalah s}u>rah alam yang diisilahkan oleh kaum (sufi) dengan al-insa>n Al-Kabi>r (manusia besar)……dan dinamakanlah ia (ruh alam) sebagai insa>n (manusia) dan khali>fah), adapun kemanusiaan-nya adalah karena keumuman pertumbuhannya (nash’atih) dank arena ia meringkas hakekat-hakekata seluruhnya. Kedudukannya bagi al-H{aqq adalah dalam posisi pupil atau biji mata (insa>n al-‘ain) dengan mata (al-‘ain) yang dengannya (al’ain) ini dapatlah terjadi penglihatan, yang diistilahkan dengan pandangan (al-bas}ar), karenanya ia disebut insa>n, kerena denganya al-H{aqq melihat kepada hambanya sehingga Dia menyanyangi mereka…”

Pernyataan Ibn ‘Arabi ini dijelaskan oleh ‘Afifi dengan mengatakan bahwa yang ia maksudkan adalah bahwa Allah ta’a>la> mengadakan di dalam alam untuk seluruh sifat dari sifat-sifat Tuhan secara mandiri, satu persatu (fura>da>), dengan demikian maka al-h}ad}rah al-ila>hiyyah al-asma>iyyah wa al-s}ifa>tinyyah tidak ber-tajalli (memanifstasi) secara sempurna, demikian juga al-wah}dah al-wuju>diyah. Sehingga alam ini bagaikan cermin yang tidak mengkilap atau bagaikan jism tanpa ruh. Karenanya Allah menciptakan manusia (adam) menurut s}u>rah-Nya, agar ia menjadi pengkilap bagi cermin tersebut dan menjadi ruh bagi jism tersebut, karena ia saja yang padanya dha>t ila>hiyah dengan seluruh sifat-sifat-Nya dapat menampakkan diri secara konkrit (muta’ayyinah). Ini adalah penasiran baru yang diberikan Ibnu ‘Arabi terhadap “khalaqa Alla>h A s}u>ratihi.
Manusia, dalam sistem pemikiran Ibn ‘Arabi (wah}dah al-wuju>d), merupakan martabat terakhir dari rangkaian martabat wuju>d. Manusia merupakan puncak tertinggi segala yang diadakan (al-mauju>dat) dari segi bahwa ia merupakan tempat penampakan seluruh hakekat al-mauju>dat (alam) dan tingkatan-tingkatannya, disamping ia juga tempat penampakan hakekat ketuhanan (majla> al-ila>hiyyah). Ia merupakan akhir al-maujuda>t dan juga awal al-mauju>dat dari segi dia adalah tujuan Tuhan. Berbeda dengan alam yang tercipta dari tiada, manusia tercipta dari yang ada.
Sebagaimana dijelaskan bahwa alam seluruhnya marupakan tempat tajally Tuhan. Namun setiap entitas alam memiliki kesiapan yang berbeda dalam menerima tajally nama-nama Tuhan. Intensitas penampakan nama-nama Tuhan berfariasi sesuai kesiapan (isti’da>d) masing-masing makhluk untuk menerima penampakan itu. Benda-benda mineral memiliki kesiapan yang paling kecil untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan. Tumbuhan memiliki kesiapan yang lebih besar dari yang dimiliki benda mineral. Binatang memiliki kesiapan yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuhan dan manusia memiliki kesiapan yang lebih besar dari dari yang dimiliki binatang. Manusia menduduki hirarki tertinggi dari makhluk-makhluk Tuhan bahkan dari jin dan malaikat dan dalam kesiapan ini. Hal itu karena selain manusia hanya menerima penampakan sebagian nama Tuhan sedang manusia bisa menerima penampakan semua nama Tuhan.
Kesempurnaan manusia terletak pada apa yang disebut perpaduan, pencakupan, atau sintesa (jam’iyyah) atau paduan, cakupan dan totalitas (majmu>’), dimana al-H{aqq memanggil seluruh hakekat yang tercerai berai dalam alam dan menghimpunnya dalam manusia. Perpaduan berarti bahwa manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam. Kerpaduan itu diperoleh dari hasil “perkawinan” antara ru>h-ru>h yang suci dan superior (‘uluwy) sebagai “bapak” (yang memberi pengaruh atau al-mu’aththir) dan unsur-unsur alam yang inferior (sufly) yang menerima perubahan yaitu al-t}abi’ah (berupa empat unsur alam yang dikenal: tanah, air, udara api) sebagai “ibu (yang ditempati pengaruh atau mu’aththar fi>h). Perkawinan ini melahirkan (anak) berupa benda tambang, tumbuhan, hewan dan jin (al-Ja>n) dan manusialah yang paling sempurna dari semuanya.
Dengan demikian manusia terdiri dari dua sisi (nuskhatain) yaitu sisi eksoteris (nuskhah z}a>hirah) dan sisi esoteris (nuskhah ba>t}inah). Sisi yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya sedang sisi esoteris dapat disamakan dengan kehadiran ilahi. Dari aspek bentuk badaniyahnya ia baharu (ha>dith) sedang dari sisi aspek ilahinya ia azali. Jadi ia memiliki dua dimensi yaitu dimensi luarnya (al-shu>rah al-kha>rijiyyah) yang disebut sebagai na>sut dan dimensi esoterik (ba>t}in) atau hakekatnya yang disebut la>hut. Namun, tidak seperti pandangan al-H{allaj yang menganggap keduanya sebagai suatu tabi’at yang terpisah, bagi Ibn ‘Arabi ia adalah dua sisi (wajhain) bagi hakekat yang satu. Keduanya merupakan dua sifat yang teraktualisasi (muh}aqqaqatain) tidak hanya pada manusia saja juga pada setiap yang mauju>d. Keduanya sinonim dengan sifat al-Ba>t}in dan Z{a>hir, atau sama dengan substansi (jauhar) dan sifat aksidental (‘arad}) dalam filsafat atau ilmu kalam.
Al-H{aqq yang ber-tajally dalam seluruh bentuk wuju>d ber-tajally pada manusia dalam betuk wuju>d yang paling tinggi dan sempurna, karena kedua sifat ini tampak pada manusia dengan jelas yang tidak tertandingi oleh mauju>d yang lain. Ia adalah kata yang memisahkan atau pembeda antara Tuhan dan alam. Karena itulah manusia disebut sebagai alam mikro (a>lam s}aghi>r), sedangkan alam merupakan merupakan manusia makro (insa>n kabi>r). Alam dan manusia sama-sama menceminkan dimensi eksoteris Tuhan (z}a>hir al-ulu>hiyah). Alam mencerminkan dimensi eksoteris Tuhan itu dari segi pluralitas asma>’ dan sifa>t, sedangkan manusia mencerminkan dimensi eksoteris Tuhan itu dengan menghimpun asma>’ dan sifa>t Tuhan sebagaimana asma>’ dan sifa>t itu terhimpun dalam nama “Alla>h”.
Jika alam dengan pluralitasnya tidak dapat dicakup seluruhnya oleh manusia, karena begitu besaarnya, manusia dapat dicakup (diketahui) baik dengan penglihatan maupun pemahaman, dari segi bentuk dan penjelasannya, karena apa yang dikandungnya berupa potensi ruhani. Manusia merupakan jirm s}aghi>r (benda kecil) yang padanyalah tampak jelas al-a>lam al-akbar (makrokosmos). Manusia dengan demikian adalah totalitas alam (majmu>’ a>lam) dan karenanya ia disebut miniatur alam (mukhtas}ar a>lam) atau alam kecil atau mikrokosmos (al-a>lam al-shaghi>r). Karenanya Allah menyusun padanya segala sesuatu selain Allah sehingga hakekat ism Allah berhubungan dengan setiap bagian darinya yang mana bagian-bagian manusia ini tampak dan muncul karena hakekat ism Tuhan, sehingga seluruh asma> Allah berhubungan dengan manusia dan tak satupun dari asma> tersebut lepas darinya.
Allah menurut Ibn Arabi menampakkan alam dalam sifat genap (al-Shafa’iyyah) agar Dia sendiri yang bersifat ganjil (witriyyah) sehingga Ia berhak atas nama al-Wa>hid al-Fard (Esa nan Tunggal) dan jadi berbedalah antara tuan dan hamba.
Suatu ketika Ibn Arabi merenungkan QS. al-Ra’d:3


Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Menurutnya, manusia termasuk dari kelompok tanaman berbuah (thamara>t), tumbuh dan berkembang sepertinya, makan sebagaimana tanaman makan, dan berakhir seperti akhirnya tumbuhan. Dari manusia diambil faedah-faedah sebagaimana diambil dari tanaman kemudian berkurang seperti berkurangnya dan menjadi tua seperti tuanya tanaman, kemudia mati sepertinya juga. Ia ia melahirkan sebagamaka imana tanaman melahirkan, kemudia diambil benih darinya kemudian ditanam, kemudian menjadi tanaman muda hingga seperti keadaan asalnya. Terkadang diambil dari manusia sebagaimana diambil dari tanaman dan terkadang ditinggalkan darinya sehingga terputus keturunan dari tanaman tertentu itu. demikian juga manusia dalam regenarasi (tawa>lud). Jika ini adalah pohon maka mana saudaranya yang dengannya maka dia menjadi genap? Ibn ‘Arabi menjawab bahwa biah yang satu adalah alam besar (makrokosmos) yang meliputi sedangn buah yang lain adalah manusia yang merupakan al-‘a>lam al as}ghar. Pemahaman ini menurutnya bersesuaian dengan QS. al-Dha>riya>t 21:


Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?

Qs. Fus}s}ilat: 53


Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Menurut Ibn ‘Arabi, jika diperhatikan apa yang terpisah-pisah dalam alam besar maka akan didapati semuanya ada dalam alam manusia. Ia memberi contoh jika di alam ada pertumbuhan maka pada manusia didapati seperti rambut dan kuku dan yang sepertinya. Sebagaimana di dalam alam ada air asin, tawar dan pahit dan asin (zu’a>q) semua itu juga ada pada manusia, yang asin ada pada matanya, yang pait ada di lubang hidungnya dan yang pahit ada di telinganya dan yang tawar di mulutnya. Sebagaimana di alam ada tanah, air, udaara, api maka di dalam manusia semua itu merupakan substansinya dan dari semua itu tubuhnya diciptakan sebagaimana di jelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dimana dijelaskan manusia diciptakan dari tanah (tura>b) dan diciptakan dari t}in yaitu percampuran air denga tanah, dan dari h}amain masnu>n yaitu yang berubah dengan udara yang merupakan unsur udara padanya dan dari s}als}a>l yang meerupakan unsur api. Demikian juga jika di alam ada empat angin yaitu utara, selatan, angin timur dan angin barat, maka dalam manusia ada empat petensi kekuatan yaitu menarik, menahan, menyerang dan menolak. Sebagimana di alam ada binatang-binatang buas, syetan-syetan dan binatang ternak, di dalam manausia ada sifat memburu, mencari kekuasaan, kemenagan dan kemarahan, dengki, iri dan penyimpagan (fuju>r), makan, minum, kawin dan bersenag-senang. Sebagaiman di dalam alam ada malaikat yang baik yang bolak-balik, maka dalam manusia ada ketaatan, istiqamah dan sebagaiman di alam ada yang tampak dengan kasat mata dan yang tak tampak, maka pada manusia ada yang tampak (z}a>hir ) dan yang tak tampak (ba>t}in), alam indrawi dan alam hati. Dhahirnya adalah kerajaan (malak) dan batinnya adalah penguasa (malaku>t). Sebagaimana di alam ada yang tinggi dan yang renadah di dalam manusia ada yang tinggi dan rendah.
Demikian juga menurut Ibn ‘Arabi, manusia didapati sebagai yang makhluk yang dibebani (mukallaf) dan ditundukkan antara janji dan ancaman, hal ini jika ditimbang dengan alam besar maka didapati, sebagaimana dalam system hirarki wuju>d Ibn ’Arabi, berbanding dengan had}rah al-amr, al-nahy dan had}rah ima>mah., dan kedudukan khila>fah, dan khali>fah benar-benar ada. Padanya muncullah hikmah dan efek asma> ada padanya. Manakala diteliti dengan seksama bagian manusia dalam had}rah al-imamiyah (kepemimpinan), maka hal itu didapati pada manusia adanya khalifah, wakil (wazi>r), qa>d}i (ha>kim), sekretaris, pemungut pajak, tentara pembantu-pembantu (a’wa>n), pasukan infanteri, yang membunuh dan menahan, dan seterusnya yang sesuai dengan kedudukan khila>fah yang mana merupakan tempat pewarisan, dimana pada para Nabilah terkibar panji dan bendera kekhalifan ini dan menundukkan semuanya untuk kekuasaannya kemudian setelah para nabi kekhalifahan ini samar dan tidak ampak hingga hari Kiyamat secara umuum, akan tetapi terkadang tampak secara khusus pada Qutub yaitu khalifah zaman dan tempat pandagan dan tajallu dan darinya muncul atah> pengaruh di atas z}ahir-nya alam dan batinnya. Dengannya Ia mengasihi yang ia kasihi dan mengadha>b yang ia adha>b. Ia mempunyai sifat-sifat yang apabila berkumpul dalam khalifah masa maka dia Qutub dan padanya tempat peredaran perintah Tuhan (al-amr al-ila>hi) dan jika tidak terkumpul maka ia selainnya dan darinya materi kekuasan zaman itu. Ini semua menurut ibn Arabi juga ada dalam manusi.
Kesebandingan manusia dan alam tidak menafikan kenyaataan bahwa manusia adalah bagian dari alam. Ia merupakan bagian pokok alam yang menduduki kedudukan ruh bagi jasad. Manusia adalah ruhnya alam, tanpa manusia, alam tidak pararel bagi hakekat ketuhanan sedangkan manusia pararel (muwa>zin) bagi hakekat-hakekat ketuhanan atau ia ada menurut s}u>rah (form) Allah, sebaliknya alam tidak pararel dengan ketuhanan kecuali dengan manusia, maka alam tanpa manusia tidak menunjukkan kesempurnaan s}u>rah Al-H{aq.
Karena itu tujuan (penciptaan) alam adalah manusia. Kalau bukan karena insa>n ka>mil maka alam tidak akan terwujud. Namun yang dimaksud di sini adalah manusia sempurna (insa>n ka>mil), karena di dalam alam juga ada manusia hewan (al-insa>n al-Hayawa>n) yang menyerupai insa>n ka>mil dalam pertumbuhan bentuknya fisiknya saja. Dengan demikian Insa>n ka>mil adalah cermin Tuhan. Ia adalah ‘illah (sebab) penciptaan dan klimaks (al-gha>yah al-qas{wa>) dari wuju>d, karena dengan wuju>d-nya maka terealisasilah ira>dah Tuhan dengan menciptakan makhluk yang dapat mengenal (ma’rifah) Allah dengan sebenar-benar pengenalan dan menampakkan. Kalau bukan karena manusia ini maka ira>dah ini tidak akan terealisir dan al-H{aqq tidak akan dikenal. Ia adalah penjaga bagi alam dan yang melestarikan keteraturannya (nidha>muh). Dialah yang dimaksudkan oleh al-H{aqq ketika memulyakan manusia dan mengagungkan kadarnya, karena kemunculan manusia beserta kesempurnaan ruh, jiwa dan jisim-nya adalah s}u>rah Allah yang tidak patut bagi selainnya untuk mengambil alih (yatawalla>) hiasan niz}a>m s{urah al-H{aq tersebut.

Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Alam

Manusia dalam pandangan ibn ‘Arabi terutama dilihat dari sisi fungsi penting yang diembankan kepadanya dan sifat yang dimilikinya ketika kehendak Tuhan menghendaki keberadaannya. Kemanusian manusia karena keumuman kemunculannya dan karena ia merangkum seluruh hakekat. Dia dinamakan insa>n karena denganyalah Allah melihat ciptaan-Nya dan kemudian mengasihinya. Ia adalah manusia yang baru (h}a>dith) dan yang azaly yang muncul terus menerus (al-da>im al-abady), dan kalimah yang memisahkan dan menghimpun, tegaknya alam adalah sebab adanya manusia (ka>mil) ini.
Hubungan manusia dengan alam adalah seperti hubungan perekat batu cincin dengan cincin. Ia tempat ukiran dan tanda stempel yang dengannya raja menyetempel gudang perbendaharaan-Nya. Karena itulah ia menamainya khali>fah. Karena dengannyalah Al-H}aq menjaga perbendaharaan-Nya sebagaimana khatam menjaga khiza>nah. Selama khatam ini ada maka tidak akan ada yang berani membukanya kecuali atas seizin-Nya, maka Al-H}aq menjadikannya khali>fah untuk menjaga kerajaan dan alam akan senantiasa terjaga selama insa>n ka>mil ini ada di dalamnya dan sebaliknya jika ia hilang dan terpisahkan dari gudang dunia maka tidak akan tetap apa yang disimpan Al-H{aqq di dunia ini dan keluarlah apa yang ada di dalamnya dan sebagiannya akan saling berbenturan dan berpindahlah ia ke Akhirat dan menjadi khatam bagi perpendaharaan Akhirat selama-lamanya. Maka tampaklah seluruh apa yang ada dalam citra Tuhan berupa asma>’ dalam kemunculan manusia dan ia (asma>’) ini memperoleh tingkat peliputan dan integrasi dengan wuju>d ini Namun yang dimaksud manusia di sini adalah manusia dalam arti universal. Pada tataran individual diantara manusia sendiri ada hirarkhi, dan puncaknya adalah insa>n ka>mil, karena ia menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang sesuai kesiapannya. Hal mana tidak dimiliki oleh manusia dan makhluk lain termasuk Malaikat dan Iblis yang menurut ibnu ‘Arabi tidak meliputi seluruh asma’ Allah dan tidak menyadari hakekat asalnya. Dengan demikian manusia adalah tempat tajalli al-H{aqq yang paling sempurna, karena ia adalah al-mukhtas}ar al-shari>f dan al-kaun al-ja>mi’ bagi seluruh hekekat wuju>d dan martabat-martabat mereka. Ia adalah microkosmos (al-‘a>lam al-as}ghar) yang mana seluruh kesempurnaan makrokosmos (al-‘a>lam al-akbar) atau kesempurnan ketuhanan yang berupa nama-nama dan sifat-sifat (kama>la>t al-H{ad}rah al-ila>hiyyah al-asma>iyyah wa al-s}ifa>tiyyah) terpantul atau terefleksi dalam cermin wuju>dnya.
Ibn ‘Arabi mengatakan Manusia adalah kata yang memisahkan atau pembeda antara Tuhan dan alam. Manusia adalah baharu (ha>dith) dari aspek bentuk badaniyahnya dan azali dari aspek ilahinya. Kesempurnaan manusia terletak pada apa yang disebut perpaduan, pencakupan, atau sintesis (jam’iyyah) atau paduan, cakupan dan totalitas (majmu>’). Perpaduan berarti bahwa manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam. Manusia menurut Ibn ‘Arabi terdiri dari dua salinan (nuskhatain) yaitu salinan yang tampak (nuskhah z}a>hirah) dan salinan yang tersembunyi (nuskhah ba>t}inah). Salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya sedang salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ila>hi.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa Ibn ‘Arabi membedakan antara Manusia sempurna pada tingkat universal atau kosmik dan Manusia Sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia sempurna pada tingkat universal adalah hakekat Manusia sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari manusia individual. Sedangkan manusia sempurna pada tingkat partikular adalah perwuju>dan manusia sempurna, yaitu para nabi dan para wali Allah.
Menurut Ibn ‘Arabi manusia terbagi dalam dua bagian yaitu al-Ka>mil, al-H{ayawa>n,. Al-Insa>n al-Ka>mil adalah manusia yang mana hakekat-hakekat ketuhanan, atau kahekat-hakekat al-H{aqq bertajalli padanya. Dialah yang dituju dalam penciptaan alam. Karena ketika Allah rindu (cinta) untuk dikenal, maka ia tidak mungkin dikenal kecuali oleh yang mempunyai suruh sepertinya (‘ala> s{u>ratihi) dan Allah tidak menciptakan seseorangpun mnenurut s}u>rah-Nya kecuali insa>ne ka>mil. Nabi saw. bersabda “ كمل من الرجال كثيرون ولم يكمل من النساء الا مريم وآسية” (banyak dari kalangan laki-laki yang semurna,dan tidak ada yang sempurna dari kalangan perempuan kecuali Maryam dan Asiyah). Menurut Ibn ‘Arabi kesempurnaan yang dimaksud adalah pengenalan mereka akan diri mereka dan pengenalan mereka atas diri mereka adalah hakekat (‘ain) pengenalan mereka atas Tuhan mereka.. Barang siapa yang sampai pada hekekat-hakekat secara kashf dan ma’rifah (ta’ri>f) yang bersifat ketuhanan maka dia adalah al-Ka>mil al-Akma>l (insa>n ka>mil yang paling sempurna), dan siapa yang derajatya dibawah ini maka dia adalah al-ka>mil (manusia sempurna), dan selain keduanya maka adakalanya ia seorang mukmin atau yang memiliki penalaran rasional dan tidak massuk dalam derajat al-kama>l (kesempurnaan) apalagi al-akmal (yang paling sempurna). Dengan demikian tidak setiap manusia mempunyai derajat kesempurnaan (al-kama>l) yang ditintut odalam kemanusiaan. Meskipun sebagian lebih utama dari sebagian yang lain dan derajat yang paling rendah adalah derajat hewani yang hanya bentuknya saja yang menyerupai manusia. Sedang derajat yang tertinggi adalah bayang—bayang Allah (z}ill Alla>h). Ia adalah insa>n ka>mil yang menggantikan Allah (na>ib al-H{aqq) dimana al-H{aqq adalah lisannya dan sekaligus kekuatannya (quwa>hu) dan antar dua derajat ini terdapat banyak tingkatan. Pada zaman Rasul al-Ka>mil adalah Rasul dan pada zaman terputusnya risalah al-Ka>mil adalah Si pewaris Rasul (al-wa>rith). Tidak ada wari>th pada saat wuju>d-nya Rasul. S}u>rah ila>hiyah dengan demikian tidak terdapat dalam setiap jiwa akan tetapi hanya pada jiwa yang sempurna (al-Ka>mil) seperti para Nabi dan manusia sempurna lainnya. Karena adanya kesempurnaan inilah sehingga patut menjadi khali>fah Allah.
Mengenai insa>n ka>mil ini ibn ‘Arabi mengatakan dalam al-Futu>h}a>t:
"الإنسان الكامل أقامه الحق برزخًا بين الحق والعالم، فيظهر بالأسماء الإلهية فيكون حقًا ويظهر بحقيقة الإمكان فيكون خلقًا"
Insa>n ka>mil diposiskan al-H{aqq dalam posisi tengah (yang memisah dan menghubungkan) antara al-H{aqq dan alam, sehingga ia menampakkan nama-nama tuhan sehingga ia adalah al-H{aqq dan ia menampakkan hakekat hal yang mungkin (ada dan tidaknya bergantung pada yang lain, yaitu al-H{aqq), maka ia adalah makhluk.
Insa>n ka>mil mencerminkan asma>’-asma>’ Tuhan seluruhnya tanpa pengecualian sebagaimana dikatakan dalam H}illiyah al-Abda>l:
إن الإنسان الكامل لا يبقى له في الحضرة الإلهية اسم إلا وهو حامل له
Ia juga menyatakan bahwa al-Insa>n al-Ka>mil adalah yang menghimpun hakekat Alam dan citra al-H{aqq. Dalam pandangannya segala sesuatu selain manusia adalah ciptaan (al-khalq), kecuali manusia karena sesungguhnya ia adalah ciptaan (khalq) dan Tuhan (H{aq). Jadi al-Insa>n al-ka>mil pada hakekatnya adalah Al-H}aq yang diciptakan dengan-Nya (al-Makhlu>q bih) yang mana alam tercipta karenanya.
Insa>n ka>mil adalah ruhnya alam dan alam baik alam tinggi mapupun alam rendah seluruhnya ditundukkan untuknya dan manusia hewan (al-insa>n al-Hayawa>n juga termasuk yang ditundukkan utnuknya.
Adapun manusia hewan (al-Insa>n al-haayawa>n) didefinisakan oleh Ibnu arabi dengan pernyataannya:
"الإنسان الحيوان هو الصورة الظاهرة التي بها جمع حقائق العالم فقط دون حقائق الحق"
Insa>ne hayawan adalah dia yang bentuk lahirnya merupakan himpunan hakekat alam saja tidak (menghimpun) hakekat-hakekat al-H{aqq
Ia menjelaskan “kau Katakan Zaid adalah manusia dan Umar juga manusia, meskipun pada Zaid telah tampak adanya hakekat-hakekat ketuhanan sedang pada Umar tidak, maka Umar pada hakekatnya adalah hewan dalam rupa manusia. Dasar pembedaan antara keduanya (yakni insa>n ka>mil dan insa>n h}ayawa>n) adalah dari fungsi kekhalifahan. Insa>ne hayawan memiliki kesamaan dengan insa>ne ka>mil hanya pada tingkat potensi.
Insa>n ka>mil dan insa>n hayawan juga berbeda dari sisi hukum rizki bagi keduanya. Insa>n h}ayawan diberi rizki sebagaimana rizki hewan, sedangkan insa>n ka>mil diberi rizki yang demikian dan rizki tambahan yaitu makanan ilmu-ilmu berfikir, baik berupa al-kashf, al-dhauq maupun pemikiran yang sehat. Kedudukan insa>n hayawan dibanding kedudukan insa>n ka>mil adalah bagaikan kedudukan kera dibanding insa>n hayawan.
Insa>ne ka>mil merupakan miniatur dan realitas keTuhan dalam tajally-Nya pada jagad raya. Esensi insa>ne ka>mil merupakan cermin dari esensi Tuhan; jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal); tubuhnya mencerminkan ‘Arsy; pengethuannya mecerminkan pengetauan Tuhan; hatinya berhubungan dengan Bait al-Ma’mu>r,; kemampuannya mental spiritaulnya terkait dengan Malaikat; daya ingatnya dengan Zuhal (saturnus); daya inteleknya dengan al-Musytary (Yupiter dan lain-lain.
Kesempurnaan insa>n ka>mil itu pda dasarnya karena pada dirinya Tuhan bertajally secara sempurna melalui hakekat Muhammad (al-H{aqqi>qah al-Muhammadiyyah) Hakekat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajally Tuhan yang paripurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptaka Tuhan. Ia ada sebelum penciptaan Adam. Oleh karena itu Ibn ‘Arabi juga menyebutnya sebagai akal pertam atau pena yang tinggi (al-Qalam al-a’la>) dialah yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dn sebab terpeliharanya.
Alam ini terpelihara karena adanya insa>ne ka>mil. ini merupakan akibat logis dari kedudukannya sebagai sebab terciptanya alam dan sebagai wadah tajally Tuhan. Seandainya sebab hilang maka akibatnya pun tentu hilang. Ibn Arabi mengatakan Ruh wuju>d yang besar (makrokosmos) ialah wuju>d wuju>d yang kecil (mikrokosmos) ini. Jika bukan kerenanya (wuju>d yang kecil) tidaklah ia (wuju>d yang besar berkata, sesungguhnya saya besar lagi perkasa.
Karenanya manusia dan bukan makhluk yang lain berhak atas status khila>fah dari Allah. Manusia yang sempurna (al-Insa>n al-ka>mil) dengan demikian -yang disimbolkan dengan Adam- adalah genus manusia (al-jins al-bashary) pada tingkat yang tertinggi yang mana tidaklah berkumpul kesempurnan-kesempurnaan wuju>d yang rasional, spiritual dan material kecuali padanya.
Insa>n ka>mil meskipun sinonim dengan jenis manusia (al-jins al-bashary) pada dasarnya tidak menemukan aktualisasinya kecuali pada derajat kemanusiaan tertinggi yaitu pada martabat kenabian dan kewaliyan dan yang paling sempurna dari mereka secara mutlak adalah Nabi Muhammad s}allalla>u ‘alihi wa sallam. Yang dimaksud di sini bukanlah Muhammad yang menjadi Nabi yang diutus, tapi al-H{aqqi>qah al-Muhammadiyyah atau al-ru>h} al-Muh}ammady. Karena ia merupakan tempat penampakan yang sempurna (al-maz}har al-ka>mil) bagi Dh>at Tuhan dan bagi Nama-nama dan sifat-sifat (Tuhan).
Insa>n ka>mil adalah bagian dari alam. Ia baginya merupakan ruh bagi hewan. Ia (insa>n ka>mil adalah al-Insa>n al-shagh>ir. Ia dinamakan micro karena ia terpengaruh (infa’ala) dari yang makro. Ia (insa>n ka>mil) adalah ringkasan (mukhtas}}ar) dari alam seluruhnya (al-mut]awwal). Manusia adalah mauju>d terakhir dari alam karena ringkasan tidak teringkas kecuali dari yang luas (mut}awwal). Alam adalah mukhtas]ar-nya al-H{aqq sedang manusia adalah mukhtas}ar-nya alam dan Al-H}aq. Dengan demikia ia adalah sari terbaik dari mukhtas}ar. Manakala alam adalah menurut s}urah-nya al-H{aqq dan insa>n ka>mil adalah menurut s}u>rah-nya alam dan s}u>rahnya al-H{aqq. Mak tidak mungkin ada yang lebih indah dan sempurna dari alam ini karena kalau ada maka ada yang lebih sempurna dari Allah. Seingga hakekat dalam alam kecuali hakeka itu ada dalam manusi sehingga ia merupakan al-kalimah al-ja>mi’ah. Allah tidak menciptakan manusia sia-sia tapi menciptakannya agar ia saja menurut s}u>rah-Nya. Dengan demikian seluruh yang ada di alam tidak mengtahui (ja>hil) terhadap totalitas (al-kull) dan mengetahui sebagian (al-ba’d}), kecuali insa>n ka>mil saja, karena Allah telah mengajarkan seluruh asma>’ dan memberinya jawa>mi’ al-kalim sehingga sempurnalah s}u>rah-nya sehingga ia menghimpun s}u>rahnya al-H{aqq dan s}u>rahnya alam. Sehingga ia menjadi penegah (barzakh) antara al-H{{aqq dan alam. Al-H{aqq melihat s}u>rah-Nya pada cermin manusai dan makhluk juga melihat s}u>rahnya pada nya. Makna melihat s}u>rah al-Hak padanya adalah memutlakkan seluruh asma>’ Tuhan padanya sebagimana dalam hadith “fa bihim tuns}aru>n, sedang Allahlah sang Penolong, “wa bihim turzaqu>,n sedang Allahlah yang memberi rizki, “wa bihim turh}amu>n “, sedang Allah lah yang mengasihi. Manusia memiliki sifat yang disebut yang hidup, yang mengetahui, yang menghendaki, yang mendengar, yang melihat, yang bicara, yang kuasa, dan seluruh asma>’ Tuhan dari asma’ tanzi>h dan af’al. Sehingga insa>n ka>mil memiliki kemulyaan atas seluruh yang ada di langit dan bumi. Ia adalah esensi ang dimaksudkan oleh al-H{aqq dari sekian yang ada karena ia yang dijadikan Allah sebagai tempat tajally, karena ia tidak sempurna kecuali dengan s}u>rah al-H{aqq sebagaimana cermin meskipun sempurna kejadiannya tapi ia tidak sempurna kecuali dengan ber-tajally-nya s}urah orang yang melihat. Sesungguuhna martabat insa>ne ka>mil dari alam adalah martabat jiwa yang berfikir (al-nafs al-Na>t}iqah) dari manusia. Ia adalah yang sempurna yang tidak ada yang lebih sempurna darinya. Ia adalah Muhammad s}alla> Allah ‘alaih wa sallam. Ia adalah insa>n ka>mil yang menggiring alam di dalam kesempurnaan. Penghulu manusia pada Yaum al-Qiya>mah dan derajat kesempurnaan dari manusia yang turun dari derajat kesempurnaan ini yang merupakan klimaks (gha>yah) dari alam adalah kedudukan daya ruhaniyah dari manusia. Mereka adalah para nabi. Sedang kedudukan dibawahnya adalah kedudukan daya inderawi dari manuisa. Mereka adalah al-warathah. Sedang sisanya dari mereka yang menurut s}urah manusia dalam bentuknya (shakl) ia termasuk golongan hewan. Maka mereka kedudukannya seperti kedudukan ruh hewani pada manusia.
Insa>n ka>mil adalah khalifah Allah dan khalifah tidak bisa tidak harus menampakkan seluruh s}u>rah yang dengannya tampaklah yang memberinya khila>fah, karenanya tidak bisa tidak khalifah harus meliputi seluruh asma’ dan sifat-sifat Tuhan yang dituntut alam yang mana al-H{aqq memberinya kekuasaan atasnya. Maka Allah menjadikan Insa>n Ka>mil di dunia sebagai ima>m dan khali>fah dan memberinya ilmu al-asma’ yang menunjukkan makna-makna padanya dan menundukkan untuk manusia ini dan keturunannya seluruh yang ada di langit dan bumi maka insa>n ka>mil tidaklah menghasilkan ima>mah sampai ia benar-benar mengetahui (‘allamah).

Ru>h} Sebagai Khalifah Pada Jasad
Pada tingkat al-‘a>lam al-asghar (manusia) kekhalifahan adalah kekhalifahan ruh dalam bumi badan. Untuk menjelaskan keparelannya dengan alam besar Ibn Arabi menjelaskan bahwa eksistensi pertama yang diciptakan Allah ta’a>la> adalah materi sederhana yang bersifat ruhani (jauhar basi>t} ru>h}a>ni). Ia tunggal tidak menempati tempat yang diistilahkan oleh para sufi dengan berbagai istilah seperti: al-ima>m al-Mubi>n, al-‘Arsh, Mir’a>t al-H{aq dan al-H{aqi>qah, al-Mufi>d}, Markaz Da>irah, dan lain sebagainya. Ini adalah khalifah dalam alam besar. Ketika Allah mengadakan Khalifah ini pada alam kecil (manusia) maka Allah membangun kota yang ditinggali oleh rakyatnya dan tokoh-tokoh negaranya yang dinamakan had}rah jism atau badan dan menentukan untuknya suatu tempat baik dia mendiaminya atau tidak sesuai perbedaan pandangan berbagai kalangan mengenainya atau tempat tertentu itu hanya sebagai tempat perintah dan khitabnya saja. Ia di posisikan dalam kota jism pada empat tiang yaitu istiqsa>t dan unsur-unsur yaitu air, tanah, udara dan api dalam pandangan orang Yunani. Tempat khusus bagi khalifah ini dinamakan Qalb dan dijadikan tempat tinggalnya atau tempat perintahnya dan ada yang mengatakan di dalam otak (dima>gh) akan tetapi Ibn Arabi lebih condong pada Qalb. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah Qalb na>bati yang juga dimiliki hewan-hewan akan tetapi sirr yang ditinggalkan padanya yaitu khalifah sedang Qalb naba>ti hanyalah kulitnya. Qalb naba>ti ini tidak berfaedah kecuali sebagai tempat sir ini yang dituntut yang menjadi obyek khitab dan yang menjawab ababila ditanya dan yang kekal ketika jisim dan Qalb naba>ti rusak. Demikianlah, kata Ibn ‘Arabi jika imam bagus maka rakyat bagus dan jika rusak maka rakyat rusak sebagaimana dalam hadi>th. Kemudian Allah membangunkan untuknya tempat rekreasi (muntahiz) yang menakjubkan yang tinggi dan mulya di tempat tertinggi di dalam kota ini yang dinamakan otak (dima>gh) dan membukakan untuk ruh di dalam otak ini kemampuan-kemampuan (t}a>qa>t) dan pintu-pintu (khaukha>t) yang darinya ia membimbing kerajaannya yaitu dua telinga, dua mata hidung dan mulut. Dan mebangunkan untuknya (Qalb) gudang perbendaharaan (khiza>nah) yang dinakan Khizanah al-Khaya>l) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal hasil pemungutan pajak (jaba>ya>t) yang diperoleh oleh indera berupa informasi tentang yang dirasa, yag dilihat, yang didengar, yang dicium yang dimakanm dan yag diraba dan yang berhubungan dengan indra. Dan dari gudang ini lahir citra-citra yang dilihat orang yang mimpi sebagaiman dalam pajak ada yang halal dan yang haram demikian juga dalam hal yang dilihata ada yang dilihat langsung dan ada yang berupa mimpi (ad}gha>th ah}la>m). dan dibangunkan juga ditengah empat pelesir ini (al-muntazah) gudang pemikiran yang kepadanya diajukan hal-hal yang dikhayalakan untuk diterima yang baik dan ditolak yang rusah. Dan dibangunkan pula di akhir al-Muntazah ini gudang penjagaan (hafalan). Dan pada otak ini dijadikan seorang wakil (wazi>r) yaitu akal.
Kemudian juga diadakan untuk Qalb ini nafsu yang merupakan tempat perubahan da tempat diamnya perintah dan larangan. Bagiannya dalam alam tinggi adalah al-Kursi sebagaimana ruh kedudukannya adalah ‘rsh dalam alam tinngi. Nafsu merupakan pasangan ruh. Dari pernikahan keduanya lahir al-jism. Kemudian ALlah sebagai kesempurnaan nikmat bagi manusia, mengadakan untuknya gubrnur (ami>r) yang sangat kuat dan diataati dan banyak tentaranya yang menentag khalifah ini yang dinamakan dengan al-Hawa> dan wazir-nya yang dinamakan al-Shahwah. Dialektika antara khalifah dan pembantunya dengan musuhnya bempengaruhi nafsu yang berubah-ubah. Karenanya nafsu menjadi tempat pebersihan dan perubahan. Jika ia mengijabahi al-hawa maka erjadilah perubahan dan jadilah ia dengan nama al-Ammarah bi al-su>’ dan jika ia menyalahi akal maka terjadilah penyucian ia menjadi nafsu al-Mut}ma’innah dalam shara’ tidak dalam tauhid. Dalam kecamuk kerajaan ini, ruh pada dasarnya tidak berdaya dan butuh kepada Allah dan tidak punya kekuatankecuali dengan pertolongan tuannya Allah ta’la> dan dia ditolong manakala ia mengadukan kepada-Nya.
Pengetahuan Manusia
Seluruh pengetahuan terpendam dalam manusia dan bahkan dalam alam seluruhnya. Allah telah menyediakan pada manusia pengetahuan mengenai segala sesuatu kemudian Allah mengahalang-halangi (h}a>la) antara dirinya dan penangkapan atas apa yang ada pada dirinya dari apa yang telah Allah sediakan pada dirinya. Ini tidak hanya khusus bagi manuisa saja, bahkan alam seluruhnya. Karena masing-masing substansi (jauhar) dalam alam ini meghimpun seluruh hakekat di dalam alam sebagaimana setiap nama tuhan merupakan musamma> bagi seluruh asma’ Tuhan. Ia adalah rahasia dari rahasia-rahasia Tuhan yang diingkari oleh akal. Kemudian Allah melupakan akan hal itu sebagaimana Allah melupakan mereka kesaksian mereka atas ketuhanan-Nya saat pengambilan janji (al-mitha>q) padahal telah terjadi pada mereka. Dan kita mengetahuinya melalui pemberitahuan tuhan. Sehingga pengetahuan manusia tiada lain adalah pengingatan. Dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang telah Allah terangi mata hatinya (bas}i>rah) dan ini terkhusus bagi orang yang diliputi al-Khashyah ma’a al-anfa>s dan ini adalah maqa>m yang mulya karena tidak terdapat kecuali bagi orang yang disertai tajally terus menerus. Jadi ia adalah al-‘Ahil.
Menurut Ibn Arabi penerima tajally, termasuk manusia, tidak dapat melihat selain bentuknya sendiri dalam cermin al-H{aqq. Ia tidak melihat al-H{aqq dan tidak mungkin melihatnya meskipun ia mengtahui bahwa ia tidak mungkin melihat bentuknya yang sebenarnya kecuali pada-Nya. Sebagaimana alam adalah cermin bagi al-H{aq di satu sisi, di sisi lain Al-H{aqq adalah cermin bagi alam maka mereka tidak akan melihat dalam cermin itu selain bentuk-bentuk mereka sendiri. Dan mereka itu dalam bentuk-bentuk mereka bertingkat-tingkat, maka Dia (al-H{aqq) adalah cermin bagi anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda adalah cermin bagi-Nya ketika dia melihat Nama-namanya dan menampakkan sifat-sifat dan nama-nama itu yang tidak lain dari diri-Nya sendiri.
Ibn Arabi mempertalikan pengetahuan tentang tuhan dengan pengetahuan tentang diri manusia. Pengetauan mengenai tuhan maupun alam menurut Ibn Arabi tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi yang merupakan satu kesatuan ontologism yang saling melengkapi. Ia adalah satu realitas dengan aspek yang berbeda. Karena itu barangsiapa yang menyatukan tanzi>h dan tashbi>h dalam pengetahuan tentang tuhan niscaya ia akan mengatahui tuhan sebagaimana mengetahui dirinya. Dalam konteks ini Ibn Arabi membuat pertalian bahwa manusia adalah s}u>rah Tuhan dan Dia adalah ruh manusia. Manusia sebagai s}u>rah tuhan, di sini Tuhan adalah yang tampak (Z{a>hir), sisi kedua Tuhan sebagai ruh manusia, Tuhan adalah yang tidak Tampak (ba>t}in)
Karena itulah menurutnya pengetahuan yang diperoleh oleh akal tidak sempurna karena hanya pampu menjangkau pada tataran tanzi>h tidak sampai pada pengetahuan yang menunjukkan tashbi>h. Pengetahuan teentang tuhan yang dapat dicapai oleh akal adalah pengetahuan negative yang menegasikan pengungkapan apapun yang mendeskripsikan Tuhan. Karena itu menurut Ibn ‘Arabi akal harus dilengkapi dengan dengan daya estimasi al-wahm, daya yang mampu mencapai pengetahuan tentang tashbi>h. Dengan demikian pengetahuan yang sempurna mengenai tuhan adalah dicapai oleh gabungan akal dan daya wahm (ketika Tuhan memberi akal pengetahuan tentang tajally), sehingga didapat pengetahuan yang memadukan tanzi>h dan tashbi>h. Bahkan menurut Ibn ‘Arabi daya wahm ini adalah kekuatan yang terbesar (al-sult}a>n al-a’z}am) dalam bentuk sempurna dari manusia. Melaluinyalah syari’at-syari’at yang diwahyukan datang, yang menyatakan tashbi>h dan tanzi>h.
Karena itu dalam pandangan Ibn ‘Arabi untuk sampai pada pengetahuan mengenai tuhan manusia dapat mengenalinya melalui alam dan dirinya sendiri sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) tuhan, namun tampaknya kecenderungan Ibn ‘Arabi sebagaimana sufi lain cenderung pada yang kedua karena itu dalam al-Futu>h}at al-Makkiyyah Ibn ‘Arabi menjelaskan enam puluh maqa>ma>t. Dalam menempuh Maqa>ma>t ini sufi senantiasa melakukan bermacam ibadah, muja>hadah dan kontemplasi, yang sesuai dengan aturan agama sehingga satu demi satu maqa>ma>t ini dapat di laluinya. Melalui maqa>ma>t ini tidak mudah dan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Tahap puncak perjalanan spiritual ini ketika ia sampai pada maqam ma’rifah dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri ini niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap tuhannya. Sebagaimana hadith rasul barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal tuhannya. Kesempurnaan makrifat ini ialah dengan mengeahui tujuh obyek pengetahuan, yaitu: mengetahui asma’ ilahi, mengetahui tajally ilahi, mengetahui taklif tuhan terhadap hambanya, mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta, mengetahuidiri sendiri, mengetahui alam akherat. Dengan makrifat maka timbul mah}abbah (cinta) cinta merupakan puncak maqa>ma>t yang ditempuh sufi. Disini bertemu antara kehendak Tuhan dan kehendak insan. Kehendak tuhan ialah kerinduan-Nya untuk ber-tajalli pada alam, sedang kehendak insan ialah kembali kepada esensinya yang sebenarnya yakni wujud mutlak. Dengan demikian diketahui bahwa “sumber pengetahuan itu sebenarnya berada dalam diri manusia tapi untuk mecapainya diperlukan kesadaran terhadap jati diri.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jilli. Sharh} Al-Futu>hat Al-Makkiyah. Kairo: Daru al-Amin, 1998
Abu> Karam, Karam Ami>n. H{aqi>qah al-‘Iba>dah ‘Inda Muhy al-Di>n Ibn ‘Araby. Kairo: Da>r al-Ami>n, 1997.
Azhari Noer, Kautsar. Ibn al-‘Arabi, Wah}dah al-Wuju>d Dalam Perdebatan. Jakarta: Para Madinah, 1995.
al-Gharra>b, Mah}mu> Mamu>d. Sharh Fus}u>s al-Hikam min Kala>m al-Shaikh Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby . Damaskus: Mat}ba’ah Zaid Ibn Tha>bit, 2000
………., Al-Insa>n al-Ka>mil wa al-Qut}b al-Ghauth al-fard min Kala>m al-Syeikh al-Akbar Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby. www. Al-mostofa.com, cet ke-2, 1990.
Ibn ‘Arabi, Muh}yi al-Di>n, al-Tadbi>ra>t al-Ila>hiyyah fi> Is}la>h} al-Mamlakah al-Isa>niyyah, dalam Rasa>il Ibn ‘Arabi. www. Pdffactory.com
………., H{illiyyah al-Abda>l. Hidrabad, tt.
………., Fus}us} al-H{ikam. Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby,tt.
………., Al-Futu>h}at al-Makkiyah,.Mesir: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra>, 1329 H
Abu> Zaid, Nas}r H}a>mid. H{a>kadha> Takallam Ibn ‘Araby, Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-‘Ammah li al-Kita>b, 2002.
Ali, Yunasir, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan konsep insa>n Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar